PROSPEK AGRIBISNIS KARET DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi
di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20
tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada
tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 2.0 juta ton pada tahun
2005. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada semester pertama tahun 2006
mencapai US$ 2.0 milyar, dan diperkirakan nilai ekspor karet pada tahun 2006
akan mencapai US $ 4,2 milyar (Kompas, 2006).
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok
untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan
Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari
3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85%
merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara
serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada
tahun 2005 mencapai 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi
dengan melakukan peremajaan dan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik
petani serta lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap
komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan
pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa
merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini,
perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun
swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara
intensif.
Pada makalah ini disajikan,
perkembangan pasar komoditi karet alam dilihat dari permintaan dan
penawaran karet alam sampai dengan tahun 2035, dan prospek agribisnis karet
dilihat dari klon-klon karet rekomendasi dengan potensi produksinya, kebutuhan
investasi dan kelayakan finansial pengusahaan kebun karet, serta hal-hal yang
perlu dipersiapkan dalam rangka pengembangan agribisnis karet di Indonesia.
PERKEMBANGAN PASAR KARET ALAM
Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia
seharihari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan
komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam
maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup
manusia. Kebutuhan karet sintetik relatif lebih mudah dipenuhi karena sumber
bahan baku relatif tersedia walaupun harganya mahal, akan tetapi karet alam
dikonsumsi sebagai bahan baku industri tetapi diproduksi sebagai komoditi
perkebunan.
Secara fundamental harga karet alam dipengaruhi oleh permintaan
(konsumsi) dan penawaran (produksi) serta stock/cadangan.
a. Pertumbuhan Konsumsi Karet Alam
Konsumsi karet alam dunia dalam dua dekade terakhir meningkat
secara drastis, walaupun terjadi resesi ekonomi dunia pada awal tahun 1980-an
dan krisis ekonomi Asia pada tahun 1997/1998. Selama tahun 1980-2005 konsumsi
karet alam mengalami pertumbuhan yang menurun dan stagnan di Eropa, dan di
Jepang pada periode 1990 juga stagnan, akan tetapi terjadi pertumbuhan yang
tinggi seperti China dan negara berkembang lainnya.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun
terakhir, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika
Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil, memberi dampak pertumbuhan
permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet
di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang
relatif stagnan.
Menurut International
Rubber Study Group (IRSG), diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan
karet alam pada periode dua dekade ke depan. Hal ini menjadi kekuatiran pihak
konsumen, terutama pabrik-pabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear dan
Michelin. Sehingga pada tahun 2004, IRSG membentuk Task Force Rubber Eco Project (REP) untuk melakukan studi
tentang permintaan dan penawaran karet sampai dengan tahun 2035. Hasil studi
REP meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035
adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton
diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun 2005 diperkirakan
8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan
mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%.
Pertumbuhan produksi Indonesia ini dapat dicapai melalui peremajaan atau
penaman baru karet yang cukup luas, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020
sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton.
b. Pertumbuhan Produksi Karet Alam
Penawaran karet alam dunia meningkat lebih dari tiga persen per
tahun dalam dua dekade terakhir, dimana mencapai 8.81 juta ton pada tahun 2005
. Pertumbuhan tersebut berasal dari negara produsen Thailand, Indonesia,
Malaysia, India, China dan lainnya. Produksi karet Thailand menjadi dua kali
lipat selama periode 1980-1990 dan 1990-2000. Juga India dan China pada periode
yang sama akan tetapi negara tersebut masih sebagai net importir untuk karet
alam. Malaysia sejak tahun 1991 tidak lagi menjadi produsen utama karet alam
dunia tetapi digeser oleh Thailand, sementara itu Indonesia tetap sebagai
negara produsen kedua. Thailand memproduksi lebih dari 33% karet alam dunia
pada tahun 2005, sementara Indonesia dengan pangsa produksi 26% dan Malaysia
tinggal 13%.
c.
Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Karet Alam Dunia
Bedasarkan
data IRSG (2004a), ketakseimbangan (imbalance)penawaran
dan permintaan karet alam mulai terlihat sejak tahun 1900-an(surplus/defisit
dari penawaran karet alam), dan berpengaruh terhadap cadangan(stock) karet alam dunia. Secara
teoritis, harga diharapkan akan bereaksidengan ketakseimbangan penawaran dan
permintaan. Dimana kenaikan hargaterjadi karena defisit penawaran dan turunnya
harga karena surplus penawaran. Hal tersebut tentunya akan menyulitkan bagi
pelakupasar dalam mengambil keputusan.Menurut Ng (1986), tidak berpengaruhnya
surplus/defisit pasokan dancadangan terhadap harga karet dunia, disebabkan oleh
adanya imperfectknowledge terhadap
penawaran dan permintaan global karet alam pada waktutertentu (adanya senjang
waktu karena masalah akses informasi) serta adanyakegiatan spekulasi dan hedging pada kegiatan pemasaran karet
alam duniaseperti forward purchase,
future contract, longterm arrangement, dansebagainya.
d. Perkembangan Harga Karet Alam
Karet sintetik sebagai produk hasil industri harganya relatif
lebih stabil dibandingkan dengan karet alam. Selain itu, karet sintetik yang
umumnya diproduksi dan dikonsumsi negara industri, harganya cenderung naik sejalan
dengan harga bahan baku, kenaikan biaya produksi dan tingkat inflasi dari
negara produsen. Hal ini sangat berbeda dengan harga karet alam yang
berfluktuasi yang dipengaruhi oleh kondisi alam (cuaca/iklim), nilai tukar dan
perkembangan ekonomi negara konsumen. Untuk menghindari kerugian karena gejolak
harga karet alam, pasar berjangka (future
trading) karet menyediakan sarana dan mekanisme lindung nilai (hedging). Pasar berjangka karet alam
yang saat ini menjadi panutan/pedoman dunia adalah Singapura (SICOM) dan Jepang
(TOCOM), serta yang relatif baru di Thailand (AFET) dan China (SHFE). Sedangkan
pasar fisik (physical/spot)
karet alam, selain di Singapura dan Jepang juga terdapat di negara produsen
seperti Malaysia dan Thailand serta di negara-negara konsumen seperti di
Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Dari 35 mutu karet alam yang
diperdagangkan dunia secara fisik, hanya tiga mutu (RSS 1, RSS 3, TSR 20) yang
dijadikan mata dagangan di pasar berjangka karet. Pasar atau bursa berjangka
disebut juga pasar yang terorganisasi dan harga penyerahan hingga 12 bulan ke
depan yang terbentuk disebarluaskan. Pada pasar fisik umumnya hanya harga
hingga penyerahan tiga bulan kedepan yang terbentuk (BPEN, 2003).
Pada pasar karet global, Singapura dan Kuala Lumpur dikenal
sebagaipasar dari kawasan produsen. Sementara itu London, New York dan
Tokyosebagai pasar dari kawasan konsumen. Karena perbedaan waktu antara
Tokyo(Jepang) dengan negara-negara produsen utama karet hanya sekitar 1- 2
jam,sehingga pasar dari dua kawasan tersebut memperlihatkan pergerakan
yangsama. Jepang (Tokyo dan Osaka) sebagai salah satu negara konsumen
utamakaret alam, kadang-kadang menstimulasi pasar di negara konsumen
(Yoko,2004). Beberapa faktor yang mempengaruhi tren harga karet alam adalah:pasar
luar negeri, permintaan dan penawaran (ekspor dan cadangan), situasipolitik dan
ekonomi internasional, tren nilai tukar, harga karet sintetik (harga SBRdan
harga minyak bumi), pertumbuhan ekonomi global (konsumen utamaseperti Amerika
Serikat, Uni Eropa, Jepang dan China) dan industri otomotif.Walaupun relatif
kecil, harga karet sintetik juga cenderung fluktuatif sepertikaret alam.
Sebelum tahun 1990 fluktuasi harga karet sintetikdisebabkan oleh kenaikan biaya
produksi dan inflasi, setelah tahun 1990fluktuasi harga karet sintetik lebih
banyak dipengaruhi oleh perubahan hargaminyak mentah. Isu utama yang
berhubungan dengan industri karet sintetikadalah harga minyak mentah, dan
dampaknya terhadap harga dan permintaankaret sintetik. Menurut IRSG (2004b),
apabila terjadi kenaikan atau penurunanharga minyak mentah maka dampaknya
terhadap industri hilir pada pasarpetrokimia, dalam hal ini adalah pasar butadiene dan stryrene, dan dampaktersebut baru terlihat 2-3 bulan kemudian.
Akan tetapi pada tahun-tahun lainnya harga karet alam didiskon
lebih rendah daripada harga SBR sebagai refleksi tekanan yang dialami oleh
kondisi pasar karet alam. Perbedaan harga antara karet alam dengan karet
sintetik menjadi faktor kunci yang mempengaruhi substitusi antara keduanya, disamping
besarnya tingkat cadangan yang tersedia. Menurut Honggokusumo, cadangan yang
dipunyai pabrik ban (afloat stock)
dan kualitas ban akan mempunyai peran yang besar pada keputusan perusahaan
apakah memakai lebih besar karet alam atau karet sintetik (IRSG, 2004b).
Menurut Budiman (2004), permintaan karet sintetik akan terus tumbuh didorong
oleh perkembangan industri automotif dan ban di China. Karet sintetik yang
dominan digunakan oleh industri ban adalah SBR dan BR. Seperti halnya karet
alam, secara ekonomi karet sintetik adalah derived demand dari permintaan ban, dimana dari sisi pasokan
diturunkan dari monomernya atau cadangan dari styrene dan butadiene. Lebih
lanjut dikatakan, secara ekonomi permintaan karet alam dan sintetik ditentukan
oleh kondisi sekarang dan perkembangan ke depan dari industri otomotif. Dengan
perkembangan ekonomi
yang pesat dan peningkatan standar kehidupan dari negara-negara
yang padat penduduknya, maka permintaan semua jenis ban akan meningkat di masa
yang akan datang.
Sejak pertengahan tahun 2002 harga karet mencapai harga US$
1.00/kg, dan sampai sekarang ini telah mencapai US$ 2.20/kg untuk harga SIR 20
di SICOM Singapura. Diperkirakan harga akan stabil sekitar US$ 2.00 pada tahun
2007 dan pada jangka panjang sampai 2020, dikarenakan permintaan yang terus
meningkat terutama dari China, India, Brazil, Rusia dan negara-negara yang
mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik.
PROSPEK AGRIBISNIS KARET DI INDONESIA
Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum
yang mampu mendorong percepatan pembenahan dan peremajaan karet yang kurang
produktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya
lainnya. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam
Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton/tahun pada tahun 2025.
Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila areal
kebun karet(rakyat) yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan
denganmenggunakan klon karet unggul secara berkesinambungan.
a. Investasi dan Anilisis Finansial Usaha Perkebunan Karet
Tanaman karet memerlukan waktu 5-6 tahun untuk dapat disadap,
oleh karena itu pembangunan perkebunan karet memerlukan investasi jangka
panjang dengan masa tenggang 5-6 tahun. Biaya investasi dan pemeliharaan TBM dan
TM dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Biaya Investasi Karet dan Pemeliharaan TBM dan TM (1
ha).
Uraian
|
Biaya(Rp/ha)
|
1. Biaya sertifikasi lahan
|
400.000
|
2. Pembukaan lahan dan penanaman
|
7.449.888
|
3.
Pemeliharaan TBM (th 1-5)
|
12.664.125
|
TOTAL
BIAYA INVESTASI (TBM) 20.514.013
|
20.514.013
|
4.
Biaya Pemeliharaan TM: per tahun
Umur 6 - 15 tahun
Umur 16 - 25 tahun
Umur 26 - 28 tahun
Umur 29 - 30 tahun
|
4.347.500
3.774.500
3.349.000
2.305.750
|
Dengan asumsi tingkat produksi rata-rata 1.576 kg karet
kering/ha/tahun, harga FOB SIR 20 : US $ 1,70/kg dan kurs: Rp 9.000/US $ (awal
tahun 2006) dan harga di tingkat petani 80% FOB, dilakukan perhitungan
kelayakan finansial usaha perkebunan karet diukur dengan tingkat Internal Rate
of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan B/C ratio. Bila IRR lebih besar
dari tingkat suku bunga yang diberlakukan yaitu 18%, maka usaha perkebunan
karet layak secara finansial. Bila NPV lebih besar dari nol (positif) maka usaha
adalah layak, pada discount rate yang
ditentukan yaitu sebesar 18%. Perhitungan nilai IRR dan NPV berdasarkan pada
arus kas selama 30 tahun dengan asumsi biaya tetap, namun harga jual
menggunakan 3 skenario yaitu: harga naik 20%, harga saat ini dan harga turun
10%, adalah seperti yang tertera di Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa proyek
pada tingkat bunga 18% usaha perkebunan karet masih layak, demikian juga pada
saat harga karet turun 20%, nilai NPV masih positif dan IRR lebih dari 18%.
Apabila ada skim kredit yang tingkat bunganya lebih rendah (14%), maka tingkat
kelayakan usaha akan semakin tinggi.
Tabel 5. Hasil Analisa Finansial Pembangunan Kebun Karet (1 ha).
Skenario(bunga= 18%)
|
NPV(juta Rp)
|
IRR (%)
|
B/C rasio
|
Harga jual karet naik 20%
|
26.6
|
34.5
|
1.30
|
Harga jual saat ini (awal tahun 2006)
|
19.2
|
31.5
|
1.17
|
Harga jual karet turun 10%
|
11.7
|
27.4
|
1.05
|
Skenario ( bunga = 14%)
|
NPV(juta Rp)
|
IRR (%)
|
B/C rasio
|
Harga jual karet naik 20%
|
47.6
|
34.5
|
1.33
|
Harga jual saat ini (awal tahun 2006)
|
35.8
|
31.5
|
1.20
|
Harga jual karet turun 10%
|
24.0
|
27.4
|
1.07
|
b. Pengembangan Agribisnis Karet di Indonesia
Dengan kondisi harga karet sekarang ini yang cukup tinggi, maka
momen tersebut perlu dimanfaatkan dengan melakukan percepatan peremajaan karet
rakyat dengan menggunakan klon-klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk
meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Strategi di
tingkat on-farm yang diperlukan
adalah :
Ø penggunaan klon unggul dengan produktivitas tinggi (2-3
ton/ha/th).
Ø percepatan peremajaan karet tua seluas 400 ribu ha sampai dengan
tahun 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025.
Ø diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai
tanaman sela dan ternak, dan
Ø peningkatan efisiensi usahatani. Sedangkan di tingkat off-farm adalah :
·
peningkatan kualitas bokar
berdasarkan SNI.
·
peningkatan efisiensi
pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani.
·
penyediaan kredit untuk
peremajaan, pengolahan dan pemasaran bersama.
·
pengembangan
infrastruktur.
·
peningkatan nilai tambah
melalui pengembangan industri hilir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar